Secercah Harapan di Tengah Kehimpitan
- duniawebtoon
- Aug 26, 2018
- 7 min read

Lombok, wilayah di kepulauan Nusa Tenggara Barat ini sedang digoncang gempa yang bertubi-tubi. Minggu (19/8) gempa kembali mengguncang Lombok dengan magnitudo 7.0. Meskipun di tengah-tengah kehimpitan, para warga terus berusaha tegar dalam melanjutkan hidup.
Setelah sekian lama merenung, akhirnya saya mencoba untuk memberanikan diri bercerita sedikit tentang perjalanan yang menampar sanubari ini.
Saya diajak oleh teman dari mama di sebuah komunitas kemanusiaan untuk ikut ke Lombok, menyaksikan sendiri kerusakan yang terjadi di sana. Awalnya saya kaget karena ternyata mama saya juga ikut. Mama dan temannya menjadi orang yang dipercaya komunitas untuk menyalurkan donasi yang sudah dikumpulkan. Jika berupa uang, maka donasi yang sudah terkumpul nantinya akan dibelikan barang-barang yang dapat membantu korban bencana untuk bertahan hidup, seperti makanan pokok dan cemilan. Ada juga donasi berupa pakaian, mukena, sarung, peralatan bayi, dan lain sebagainya yang siap disalurkan ke posko pengungsian.
Saya tidak mungkin melepas mama begitu saja, meskipun ada dampingan dari seorang teman. Akhirnya saya ikut menemani beliau dan tidak berekspektasi apapun. Di bayangan saya, nanti di sana hanya membagi-bagi makanan dan ya sudah, kembali ke Jakarta seperti biasa serta selamat. Pun saya, mama, dan temannya juga tidak mengharapkan imbalan dan tidak dilapisi kepentingan apapun.
Itu perjalanan dadakan, saya memberi tahu rencana itu hanya ke 3 orang teman yang paling saya percayai dan bisa memahami maksud saya melakukan perjalanan ini. Saya ke Lombok selama 2 hari yakni Sabtu (18/8) hingga Minggu (19/8). Senin pagi waktunya balik ke Jakarta dengan penerbangan 05.00 WITA.

Sebuah rumah rusak akibat gempa. (Dok.Pribadi)
Hari pertama (18/8/2018)
07.30 WITA kami mendarat di Bandara International Lombok dengan selamat. Aktivitas bandara berjalan normal, terdapat banyak wisatawan lokal serta asing berlalu lalang di sana. Selama saya mengurus masalah bagasi, banyak sekali bantuan yang dikirimkan untuk membantu korban bencana gempa di Lombok. Bukan hanya sekali dua kali lewat. Saya tidak memperhatikan dari mana saja bantuan datang, yang jelas masih ada rasa kemanusiaan di Indonesia ini dengan melihat banyaknya bantuan yang datang.
Kami akhirnya pergi ke tempat penginapan untuk beristirahat sejenak sambil menyusun rencana supaya penyaluran donasi benar-benar tepat sasaran. Lalu pada sore hari pukul 15.00 WITA, kami bergegas memberi bantuan ke tiga titik di Lombok Barat. Mobilisasi dibantu oleh seorang warga Lombok, namanya Mas Adi. Beliau yang menemani kami dan mengantarkan ke posko pengungsian selama 2 hari. Posko-posko di hari pertama berada di sekitaran Jelateng Griya Lombok, Lombok Barat.

Titik pertama : Pengungsian di lingkungan sekolah (Dok.Pribadi)

Reruntuhan bangunan di dekat pagar sekolah. (Dok.Pribadi)
Posko pertama yang dikunjungi berada di sebuah sekolah dasar. Di sana mama saya memberikan sedikit ceramah untuk memotivasi pengungsi di sana. Menurut warga, mereka sudah ada di pengungsian selama 2 minggu dan belum berani balik ke tempat masing-masing karena masih trauma atau rumahnya sudah rata dengan tanah. Setelah menyalurkan barang yang mereka butuhkan, kami beralih ke posko selanjutnya.

Titik ke 2 : Seorang pengungsi sedang mampir ke warung kecil (Dok.Pribadi)
Titik ke 2 lokasinya berdekatan dengan titik pertama. Wilayahnya masih sama, di Jelateng Griya Lombok. Kali ini posko tersebut berada di dekat tempat pembuangan sampah. Inti acara masih sama, yakni berusaha memotivasi dan membagikan makanan serta peralatan yang dibutuhkan.

Titik ke 3 : Seorang anak bermain bola di posko bencana (Dok.Pribadi)
Di tempat ke 3 ada tenda seperti surau yang digunakan para pengungsi untuk mengaji dan sholat. Ketika kami mampir ke sana, anak-anak begitu semangat dalam menjawab salam. Kami juga memanjatkan doa di sana untuk keselamatan warga Lombok. Anak-anak serta bapak-bapak khusyuk berdoa. Mereka terlihat tegar dan tabah dalam menghadapi musibah ini. Masih ada harapan meskipun di tengah kehimpitan dan ketidakpastian.

Titik ke 3 (Dok.Pribadi)
Di surau juga ada sekumpulan anak yang minta berfoto dengan kamera DSLR. Mereka pede sekali.
"Kak, itu kamera?" tanya salah satu anak bernama Ludi
"Iya dek. Kenapa?" tanya saya. Anak laki-laki itu tersenyum sambil melihat ke arah kamera.
"Mau difotoin?" balas saya.
"Mau, kak ! " sahutnya yang diiringi oleh kawanannya.
Cekrek
Hari pertama telah dilewati dan saatnya kembali ke tempat penginapan. Terdapat beberapa retak dinding di tempat penginapan kami, mulai dari kecil hingga agak besar. Sebenarnya kami was-was dan ingin pindah saja ke tempat penginapan yang lebih aman. Salah satu teman mama, sebut saja tante A mempunyai keluarga di Lombok dan tadinya ingin menumpang saja di rumah Mba Nani, begitulah sapaan tante A kepada pemilik rumah. Namun, kami merasa sungkan karena di rumahnya juga banyak orang.
Bukan hanya kami yang berada di tempat penginapan itu, namun juga beberapa orang yang sedang berkunjung ke Lombok. Sebelum tidur, kami memanjatkan doa agar semuanya baik-baik saja, meskipun suasana tempat penginapan begitu mengkhawatirkan kami dengan retak-retaknya.
Hari kedua (19/8/2018)
Lalu, tibalah hari kedua kami di Lombok. Kami ke rumah Mba Nani terlebih dahulu untuk mengambil nasi puyung yang sudah disiapkan untuk pengungsian yang hendak kami datangi. Mba Nani ini adalah salah seorang warga asli Lombok yang memiliki solidaritas tinggi. Beliau bisa saja mengamankan dirinya beserta keluarganya ke Jakarta, namun ia memilih untuk menetap di Lombok demi membantu para warga yang bergantung kepadanya. Rumahnya memiliki pekarangan yang cukup luas, sekitar 100 m. Jika gempa terjadi, halaman rumahnya dapat menampung puluhan warga yang tinggal 1 gang dengannya.

Mba Nani (kiri) dan anaknya (kanan) berpartisipasi pula dalam kegiatan pecinta alam untuk membantu korban gempa (Dok.Pribadi)
Sambil menunggu Mas Adi yang akan mengantarkan kami ke Gunung Sari, Mba Nani mengabarkan bahwa sebenarnya semalam terjadi gempa lagi dengan magnitudo kecil, yaitu 3 dan 4. Terjadi dua kali masing-masing pukul 20.00 WITA dan 10.00 WITA. Kami terkejut karena suasana tempat penginapan cukup senyap, tidak ada ribut-ribut gempa. Beliau cerita jika setiap hari Lombok diguncang gempa dengan magnitudo yang kecil. Setelah siap, kami berkemas dengan memasukkan nasi puyung dan barang lainnya ke mobil.

Nasi puyung, makanan khas Lombok (Dok.Pribadi)
Perjalanan ke Gunung Sari sempat lancar, hingga akhirnya tersendat beberapa menit. Kami kira memang karena macet. Tetapi, Mas Adi menemukan suatu kejanggalan, yaitu ditemukan truk pengangkut reruntuhan. Kemudian saya juga melihat tembok rumah yang baru saja runtuh. Ternyata siang itu Lombok baru saja diguncang gempa magnitudo 5,4. Mama saya tidak menyadarinya karena tertidur di bangku depan akibat kelelahan di hari pertama, sementara temannya sudah duluan berada di lokasi. Saya juga tidak menyadarinya, saya hanya merasa pusing. Saya kira tadinya mabok. Kepekaan saya terhadap gempa ternyata masih kurang.

Titik ke 4 : Posko di Gunung Sari, Lombok Barat
Di titik ke 4 ini Mama bercerita tentang Nabi Ayyub untuk menenangkan para warga. Anak-anak dan Ibu-Ibu menyimaknya dengan seksama. Usai itu, kami menggelar doa bersama dan membagikan apa yang kami bawa. Meskipun usai diguncang gempa, para warga masih berusaha tenang dan tegar. Mereka was-was dan pasrah sebenarnya, namun tak ingin membuat situasi semakin runyam. Supaya makin terhibur, para pengelola posko dari suatu komunitas menggelar lomba 17-an.

Buldozer meratakan reruntuhan bangunan yang baru saja dirubuhkan (Dok.Pribadi)
Usai acara, kami pulang ke rumah Mba Nani. Sepanjang perjalanan kami mengencangkan doa karena jujur saja ini perjalanan yang sangat menegangkan. Bagi saya, tidak ada kata yang pas hingga saat ini untuk menggambarkan perjalanan saya ke Lombok. Sepanjang perjalanan saya melihat beberapa bangunan yang telah rubuh. Bisa rubuh karena gempa atau sengaja dirubuhkan karena sudah rentan.
Di rumah Mba Nani kami beristirahat sambil memeriksa kembali penyaluran donasi demi mencegah kesalahan. Ini perjalanan yang harus dilakukan secara amanah, jika salah pertanggungjawabannya akan berat, baik di dunia maupun akhirat. Kami juga meminta untuk bisa tinggal di rumah Mba Nani malam ini. Beliau membolehkan.
"Mba Nani, boleh tidak kami tidur di sini untuk malam ini. Karena jujur saja kami khawatir kalo tetap tidur di tempat penginapan. Suasananya senyap, takut kami tidak peka jika ada gempa atau kebingungan cari jalan keluar," kata teman mama.
"Silahkan. Malah emang seharusnya di sini biar lebih aman. Gak usah sungkan " kata mba Nani
Akhirnya kami berkemas dengan cepat dari tempat penginapan semula. Setelah itu, dalam perjalanan kembali ke rumah Mba Nani ternyata di sekitar gang sudah banyak orang di luar bangunan, ada yang tidur atau duduk-duduk cemas. Banyak yang sudah siaga untuk masuk ke pekarangan rumah Mba Nani, namun suasana masih kondusif. Ternyata ada himbauan dari masjid-masjid untuk tidur di luar khusus minggu malam tersebut karena khawatir terjadi gempa besar. Kewaspadaan ini muncul karena gempa-gempa besar sebelumnya selalu muncul di Minggu malam.
Tidak ada yang bisa memprediksi kapan terjadinya gempa. Gempa pun kembali menghantui Lombok pada Minggu malam pukul 22.56 WITA. Listrik langsung padam ketika goncangan pertama terjadi. Kami semua, termasuk anak-anak Mba Nani langsung berhamburan keluar ketika suaminya Mba Nani memberi komando dari luar.
"KELUAR, KELUAR ! "
Warga berdiri di depan pagar, berseru membuka untuk masuk ke pekarangan, "BUKA, BUKA !
Pagar langsung dibuka. Semuanya berdiri menjauhi bangunan. Kami dan para warga mengencangkan doa, mengucap istigfar bersama-sama demi meredakan kemarahan sang penguasa alam.
Gempa berlangsung lama. Kadang getarannya tinggi, kadang rendah. Ketika gempa mereda para warga membantu suami Mba Nani membuka terpal untuk persiapan tidur. Kami membantu dengan memberikan selimut yang masih tersedia. Mama juga memimpin doa bersama. Ketika gempa berguncang lagi, kami langsung berlari sedikit menjauhi bangunan. Begitu terus hingga akhirnya gempa mereda, kami semua bersiap untuk tidur dengan waspada.
Anak Mba Nani bercerita, "setiap hari gempa di Lombok. Mau besar atau kecil, tidur gak pernah nyenyak. Selalu waspada," Anak Mba Nani selalu menenangkan saya ketika panik. Dia memberikan saran yang dia pelajari di komunitas pecinta alam. Jujur saja, ini pengalaman pertama dan bagi saya serta yang lain pasti panik. (bisakah saya memohon untuk tidak di-bully?)
Hingga jam 01.00 WITA saya masih merasakan gempa kecil. Saya memutuskan untuk tidur-ayam alias tidur tidak nyenyak. Para wanita beserta anak-anak tidur, sementara laki-laki menjaga lingkungan secara bergantian. Cahaya senter menemani salah satu malam horor tersebut. Bulan tidak bersinar terang karena terhalang awan. Hal itu tidak mengendurkan semangat gotong royong para warga.
Apa yang didapat dari pengalaman ini?

Ibu-ibu selalu ceria memasak untuk kebutuhan pengungsi. (Dok.Pribadi)
Tidak ada kata yang pas untuk menggambarkan keseluruhan cerita. Ibu-ibu di foto atas sangat berjasa memasak hidangan untuk kebutuhan donasi. Mereka kebagian jatah makan juga pastinya! Mereka menolong tanpa pamrih. Satu warga bahagia, kami dan ibu-ibu dapur juga bahagia.
Sekali lagi, saya -mewakili nama lain- tidak berekspektasi apapun terhadap perjalanan ini. Niat kami tulus untuk menolong. Setelah melihat medannya, saya pun merasa diobati. Ada luka di dalam hati yang mereka sembuhkan karena ketegaran dan ketabahan mereka. Kami semua saling menguatkan, tidak peduli kenal atau tidak.
Ketegaran Mba Nani dan anak-anaknya membuat kami semua bisa berpikir positif juga. Semua ada alasan di balik itu semua. Pada kondisi genting tersebut, terpecah belah bukanlah solusi.
Keterbatasan energi serta orang membuat kami hanya bisa menjelajah wilayah Lombok Barat. Namun, doa kami selalu merangkul seluruh warga Lombok. Semoga cobaan ini segera berakhir dan Allah selalu memberi ketenangan batin kepada para korban.
Saya menulis ini bukan untuk meredam euforia Asian Games, pun saya juga tidak memiliki kemampuan redam itu. Saya hanya ingin berbagi. Kita bisa peduli pada Asian Games, pun juga Lombok. Semua terjadi karena ada alasannya.
Saya mungkin perlu mengutip salah satu cuitan dari Bapak Moeldoko. Saya yakin kita semua bisa jadi netizen cerdas. Saya tak mempunyai kapabilitas berpolitik. Jangan cap kubu-kubuan di postingan ini. Tangkap pesannya.
"Ada suka di Asian Games Jakarta-Palembang, ada duka di Lombok. Keduanya bagian dari perjalanan bangsa. Kita sambut suka, kita tanggulangi duka bersama-sama sebagai bangsa yang berketuhanan dan berperikemanusiaan."
Terima kasih sudah menyimak cerita saya dari awal hingga akhir. Semoga empati kita terus ada, jangan padamkan empati dengan meributkan hal-hal yang tidak harus diributkan. Semoga pesannya sampai. Mohon maaf jika ada kekurangan dan pasti ada karena kami menetap di sana hanya 2 hari. Perjuangannya tidak bisa disamakan dengan para relawan yang menetap di sana lebih lama dari kami.

Comments